Besarnya jumlah mahar perkawinan yang berlaku dalam adat perkawinan suku
Nias menjadi salah satu pertimbangan bagi masyarakat Nias untuk
melangsungkan sebuah pernikahan oleh karena itu melangsungkan perkawinan
di daerah lain (di luar daerah Nias), khususnya di daerah perkotaan,
menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat Nias untuk menghindari
besarnya biaya mahar yang harus diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Mahar dalam adat Nias ini juga mengandung isu-isu
ketidakadilan gender yaitu dengan adanya istilah “Böli Gana’a” yang
bermakna bahwa perempuan itu adalah bagaikan barang belian. Konsekuensi
dari istilah ini mengakibatkan kaum perempuan selalu berada di bawah
kekuasaan laki-laki. Bagi masyarakat Nias, perempuan harus memiliki
kesanggupan untuk bekerja keras karena setelah berkeluarga pembayaran
biaya mahar ketika melaksanakan upacara perkawinan cenderung merupakan
tanggung jawab perempuan. Hal ini jugalah yang mendorong baik perempuan
maupun laki-laki akhirnya lebih memilih melaksanakan pernikahannya di
luar daerah Nias karena biasanya mahar perkawinan tergantung kesepakatan
dan kemampuan pihak laki-laki yang datang melamar, dan untuk perempuan,
tidak terikat tanggung jawab untuk membayar mahar yang besar. Berangkat
dari latar belakang ini, maka yang menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana tata cara penetapan mahar bagi perempuan
Nias, khususnya yang bekerja di sektor informal di Padang Bulan, Medan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan studi kasus.Penelitian ini berlokasi di daerah Padang
Bulan Medan. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini
adalah perempuan suku Nias yang bekerja di sektor informal di Padang
Bulan Medan. Pengumpulan data digunakan dengan teknik wawancara,
observasi dan dokumentasi. Interpretasi data dilakukan dengan
menggunakan catatan dari hasil lapangan. Hasil dari data lapangan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam tata cara penetapan mahar
perkawinan yang berlaku bagi suku Nias di daerah Nias dengan yang
berlaku di luar daerah Nias (perantauan). jumlah mahar yang berlaku di
daerah Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi), böra (beras),
firö (uang perak), dan ana’a (emas). Jumlah uang kurang lebih Rp. 30
juta, emas (cincin untuk mempelai perempuan dan ibu mempelai perempuan),
babi 30 ekor, dan beras 20 karung. Tahap pendahuluan, masa pertunangan,
pesta kawin dan penyelesaian harus dilalui seluruhnya sedangkan di
Padang Bulan Medan tahap-tahap adat perkawinan yang lebih singkat,
jumlah mahar yang lebih sedikit, berkisar antara Rp. 1 juta – Rp. 15
juta serta bisa di-uang-kan. Dari 10 orang informan, tidak ada yang
pernah mendengar istilah gender dan hanya satu orang yang megerti konsep
budaya patriarki, walaupun masing-masing informan menyadari bahwa
terdapat sikap mendahulukan kepentingan anak laki-laki dalam keluarga.
Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang sang isteri manjadi penopang
utama hidup keluarga ketika suami tidak mau tahu dengan keluarganya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar